Aktivitas organisasi sektor publik dan bisnis senantiasa berubah dan berkembang seiring dengan perubahan di lingkungan internal dan eksternal organisasi. Perubahan di lingkungan internal berupa perbaikan metode operasi (misalnya perubahan dari manual ke otomatisasi) biasanya dapat dikendalikan oleh manajemen. Sedangkan perubahan di lingkungan eksternal, seperti perubahan iklim demokrasi dan peraturan, berada di luar kontrol organisasi.
Tuntutan perubahan dan peningkatan kapabilitas organisasi memunculkan risiko (risk) dan sekaligus peluang (opportunities) bagi organisasi. Risiko berkenaan dengan kemungkinan terjadinya kegagalan dan kerugian bagi organisasi. Risiko berskala rendah tidak mengkuatirkan bagi organisasi. Namun, risiko berskala besar dapat berdampak pada tidak tercapainya tujuan dan misi dari organisasi. Kegagalan tujuan dan misi bagi organisasi publik dapat mengakibatkan distrust (ketidakpercayaan) dari publik atas pelayanan yang diberikan. Dalam kondisi terjelek dan sebagaimana yang pernah terjadi, distrust dapat menyebabkan hilangnya organisasi yang bersangkutan.
Manajemen risiko (risk management) menjadi kebutuhan yang strategis dan menentukan perbaikan kinerja dari organisasi. Pada suatu ras bangsa (Cina), karakter tulisan risiko berarti pula peluang. Risiko yang dikelola dengan optimal bahkan memunculkan berbagai peluang bagi organisasi yang bersangkutan. Manajemen risiko diperlukan untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya terbatas yang dimiliki organisasi. Pengalokasian sumber daya didasarkan pada prioritas risiko yang dimulai dari risiko skala tertinggi. Demikian pula, manajemen risiko yang ada perlu dievaluasi secara periodik melalui aktifitas pengendalian (internal control).
Manajemen risiko pada organisasi swasta berkembang lebih pesat dibandingkan organisasi publik (instansi Pemerintah). Fenomena ini dinilai lumrah mengingat sektor swasta memiliki ukuran-ukuran yang jelas bagi berhasil atau gagalnya organisasi. Sedangkan organisasi publik banyak berlindung pada faktor-faktor yang tidak dapat dikuantifisir. Namun, dorongan bagi sektor publik untuk melakukan manajemen risiko dalam aktivitasnya semakin meningkat, dan Departemen Keuangan meresponnya dengan menugaskan Inspektorat Jenderal sebagai compliance office for risk management.
Artikel ini dimaksudkan untuk memperkenalkan konsep risk management dan sebagai pengantar bagi applikasinya pada unit-unit di lingkungan Departemen Keuangan. Sistimatika paper disajikan sebagai berikut: (1) Pendahuluan; (2) Kebijakan Pemerintah dan Institusi Negara atas Manajemen Risiko; (3) Pengertian Manajemen Risiko; (4) Proses Manajemen Resiko; (5) Manajemen Risiko dan Fungsi Pengawasan; dan (6) Simpulan.
Risiko tidak tercapainya tujuan dan program organisasi tidak semata terjadi di lingkungan bisnis, namun juga di lingkungan publik. Telah banyak kritik dan keluhan berkenaan tingginya risiko yang dihadapi bila berkaitan dengan pelayanan instansi Pemerintah. Survei Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) yang dilakukan pada tahun 2005 misalnya menyebutkan 2 unit eselon I di lingkungan Departemen Keuangan sebagai lima besar instansi dan lembaga negara terkorup.Tambahan pula, pelayanan investasi kepada investor asing terhitung terendah dari segi waktu dan biaya dibandingkan negara-negara kawasan. Disamping itu, perkembangan demokrasi menuntut asas transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara dan peningkatan pelayanan publik dari waktu ke waktu.
Pihak eksekutif dan legislatif memberikan prioritas pelaksanaan ke dua asas di atas dan peningkatan pelayanan publik yang bertujuan untuk meminimalkan risiko pada instansi Pemerintah. Minimalisasi risiko tertera pada beberapa undang-undang (UU), keputusan menteri, dan Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 58 menekankan perlunya sistem pengendalian intern (SPI) di lingkungan Pemerintah dan adanya manajemen risiko. Pasal 58 ayat 1 menyebutkan ”Dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan SPI di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh. Selanjutnya, ayat 2 pasal yang sama menyatakan bahwa SPI ditetapkan dengan peraturan pemerintah (PP). PP tersebut saat ini sedang disusun oleh tim inter-departemen dibawah koordinasi Menteri Keuangan, dan draft PP yang dibuat menekankan pada penilaian risiko (6 pasal) dan kegiatan pengendalian (24 pasal), atau hampir 50% dari total 69 pasal yang dirancang dalam PP tersebut. Secara umum, PP tersebut telah mengadopsi pendekatan terkini di bidang internal audit yang berasal dari COSO dan IIA. [2]
Manajemen risiko juga menjadi salah program utama dari strategi dan kebijakan (Road-map) Departemen Keuangan sebagaimana dinyatakan dalam Keputusan Menteri Keuangan (Kepmenkeu) No. 464/KMK.01/2005 tanggal 29 September 2005 tentang Pedoman Strategi dan Kebijakan Departemen Keuangan (Road-map Departemen Keuangan) tahun 2005-2009. Dalam Kepmenkeu tersebut khususnya Bidang Pengawasan Fungsional, unit-unit di lingkungan Departemen Keuangan (Depkeu) diharapkan telah menerapkan manajemen risiko di lingkungannya masing-masing terhitung sejak tahun anggaran 2007. Disamping itu, ditunjuk pula Inspektorat Jenderal (Itjen) Depkeu sebagai Compliance Office atas manajemen risiko.
Peningkatan pelayanan publik, dengan mengurangi risiko seperti biaya ekstra atau pungutan liar dalam pemberian pelayanan publik, menjadi perhatian Pemerintah yang diwujudkan dengan penerbitan Surat Edaran (SE) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) No. SE/15/M.PAN/9/2005 tentang Peningkatan Intensitas Pengawasan dalam Upaya Perbaikan Pelayanan Publik. SE tersebut meminta perhatian khusus para pimpinan departemen dan lemabaga negara dalam meningkatkan intensitas pengawasan guna perbaikan pelayanan publik melalui antara lain: (1) menetapkan standar pelayanan secara transparan dan akuntabel; dan (2) memfungsikan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) untuk memberikan perhatian khusus pengawasan terhadap pemberian pelayanan Publik.
Manajemen risiko termasuk program ke empat dari API berkenaan dengan Program Peningkatan Kualitas Manajemen dan Operacional Perbankan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan Good Corporate Governance (GCG), kualitas manajemen risiko, dan kemampuan operasional manajemen. BI mewajibkan bankir dan pegawai bank pada semua level jabatan yang berhubungan langsung dengan pengelolaan risiko untuk mengikuti sertifikasi manajemen resiko.
Sumber : http://www.bppk.depkeu.go.id/
Tuntutan perubahan dan peningkatan kapabilitas organisasi memunculkan risiko (risk) dan sekaligus peluang (opportunities) bagi organisasi. Risiko berkenaan dengan kemungkinan terjadinya kegagalan dan kerugian bagi organisasi. Risiko berskala rendah tidak mengkuatirkan bagi organisasi. Namun, risiko berskala besar dapat berdampak pada tidak tercapainya tujuan dan misi dari organisasi. Kegagalan tujuan dan misi bagi organisasi publik dapat mengakibatkan distrust (ketidakpercayaan) dari publik atas pelayanan yang diberikan. Dalam kondisi terjelek dan sebagaimana yang pernah terjadi, distrust dapat menyebabkan hilangnya organisasi yang bersangkutan.
Manajemen risiko (risk management) menjadi kebutuhan yang strategis dan menentukan perbaikan kinerja dari organisasi. Pada suatu ras bangsa (Cina), karakter tulisan risiko berarti pula peluang. Risiko yang dikelola dengan optimal bahkan memunculkan berbagai peluang bagi organisasi yang bersangkutan. Manajemen risiko diperlukan untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya terbatas yang dimiliki organisasi. Pengalokasian sumber daya didasarkan pada prioritas risiko yang dimulai dari risiko skala tertinggi. Demikian pula, manajemen risiko yang ada perlu dievaluasi secara periodik melalui aktifitas pengendalian (internal control).
Manajemen risiko pada organisasi swasta berkembang lebih pesat dibandingkan organisasi publik (instansi Pemerintah). Fenomena ini dinilai lumrah mengingat sektor swasta memiliki ukuran-ukuran yang jelas bagi berhasil atau gagalnya organisasi. Sedangkan organisasi publik banyak berlindung pada faktor-faktor yang tidak dapat dikuantifisir. Namun, dorongan bagi sektor publik untuk melakukan manajemen risiko dalam aktivitasnya semakin meningkat, dan Departemen Keuangan meresponnya dengan menugaskan Inspektorat Jenderal sebagai compliance office for risk management.
Artikel ini dimaksudkan untuk memperkenalkan konsep risk management dan sebagai pengantar bagi applikasinya pada unit-unit di lingkungan Departemen Keuangan. Sistimatika paper disajikan sebagai berikut: (1) Pendahuluan; (2) Kebijakan Pemerintah dan Institusi Negara atas Manajemen Risiko; (3) Pengertian Manajemen Risiko; (4) Proses Manajemen Resiko; (5) Manajemen Risiko dan Fungsi Pengawasan; dan (6) Simpulan.
Risiko tidak tercapainya tujuan dan program organisasi tidak semata terjadi di lingkungan bisnis, namun juga di lingkungan publik. Telah banyak kritik dan keluhan berkenaan tingginya risiko yang dihadapi bila berkaitan dengan pelayanan instansi Pemerintah. Survei Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) yang dilakukan pada tahun 2005 misalnya menyebutkan 2 unit eselon I di lingkungan Departemen Keuangan sebagai lima besar instansi dan lembaga negara terkorup.Tambahan pula, pelayanan investasi kepada investor asing terhitung terendah dari segi waktu dan biaya dibandingkan negara-negara kawasan. Disamping itu, perkembangan demokrasi menuntut asas transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara dan peningkatan pelayanan publik dari waktu ke waktu.
Pihak eksekutif dan legislatif memberikan prioritas pelaksanaan ke dua asas di atas dan peningkatan pelayanan publik yang bertujuan untuk meminimalkan risiko pada instansi Pemerintah. Minimalisasi risiko tertera pada beberapa undang-undang (UU), keputusan menteri, dan Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 58 menekankan perlunya sistem pengendalian intern (SPI) di lingkungan Pemerintah dan adanya manajemen risiko. Pasal 58 ayat 1 menyebutkan ”Dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan SPI di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh. Selanjutnya, ayat 2 pasal yang sama menyatakan bahwa SPI ditetapkan dengan peraturan pemerintah (PP). PP tersebut saat ini sedang disusun oleh tim inter-departemen dibawah koordinasi Menteri Keuangan, dan draft PP yang dibuat menekankan pada penilaian risiko (6 pasal) dan kegiatan pengendalian (24 pasal), atau hampir 50% dari total 69 pasal yang dirancang dalam PP tersebut. Secara umum, PP tersebut telah mengadopsi pendekatan terkini di bidang internal audit yang berasal dari COSO dan IIA. [2]
Manajemen risiko juga menjadi salah program utama dari strategi dan kebijakan (Road-map) Departemen Keuangan sebagaimana dinyatakan dalam Keputusan Menteri Keuangan (Kepmenkeu) No. 464/KMK.01/2005 tanggal 29 September 2005 tentang Pedoman Strategi dan Kebijakan Departemen Keuangan (Road-map Departemen Keuangan) tahun 2005-2009. Dalam Kepmenkeu tersebut khususnya Bidang Pengawasan Fungsional, unit-unit di lingkungan Departemen Keuangan (Depkeu) diharapkan telah menerapkan manajemen risiko di lingkungannya masing-masing terhitung sejak tahun anggaran 2007. Disamping itu, ditunjuk pula Inspektorat Jenderal (Itjen) Depkeu sebagai Compliance Office atas manajemen risiko.
Peningkatan pelayanan publik, dengan mengurangi risiko seperti biaya ekstra atau pungutan liar dalam pemberian pelayanan publik, menjadi perhatian Pemerintah yang diwujudkan dengan penerbitan Surat Edaran (SE) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) No. SE/15/M.PAN/9/2005 tentang Peningkatan Intensitas Pengawasan dalam Upaya Perbaikan Pelayanan Publik. SE tersebut meminta perhatian khusus para pimpinan departemen dan lemabaga negara dalam meningkatkan intensitas pengawasan guna perbaikan pelayanan publik melalui antara lain: (1) menetapkan standar pelayanan secara transparan dan akuntabel; dan (2) memfungsikan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) untuk memberikan perhatian khusus pengawasan terhadap pemberian pelayanan Publik.
Manajemen risiko termasuk program ke empat dari API berkenaan dengan Program Peningkatan Kualitas Manajemen dan Operacional Perbankan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan Good Corporate Governance (GCG), kualitas manajemen risiko, dan kemampuan operasional manajemen. BI mewajibkan bankir dan pegawai bank pada semua level jabatan yang berhubungan langsung dengan pengelolaan risiko untuk mengikuti sertifikasi manajemen resiko.
Sumber : http://www.bppk.depkeu.go.id/
0 komentar:
Posting Komentar