Huang Ishien (57), seorang usahawan di Hongkong, selalu membawa sejumlah buah tangan saat pulang ke Indonesia. Buah tangan itu tidak pernah bergeser dari obat oles Tiger Balm, obat sakit perut, obat batuk Kim To Ninjiom Pei Pa Koa (obat batuk ibu dan anak), serta obat kulit Bao Fu Lin.
Sejumlah produk Hongkong ini sebenarnya tersedia di pelbagai kota di Indonesia. Namun, tetap saja Huang membawa buah tangan itu karena sahabat-sahabatnya menyukainya.
Hal yang lebih kurang sama terjadi di Indonesia. Pulang dari Yogyakarta, yang dibawa umumnya gudeg, bakpia patok, atau masakan dari beberapa restoran tua terkenal. Kembali dari Solo, banyak yang ”nekat” bawa timlo, soto gading, intip, kain batik, dan sebagainya.
Dari Makassar, yang dibawa kepiting dari restoran-restoran tua terkenal, bubur ayam Ang Ping Lao, coto makassar, sop konro, atau minyak gosok cap Tawon.
Dari Balikpapan, yang dibawa selalu kepiting jumbo. Dari Semarang, yang dibawa lumpia (basah dan goreng), soto bangkong, bandeng presto, dan sebagainya.
Menariknya, para pemburu produk atau makanan spesifik ini rela antre saat panas matahari, bersedia menenteng buah tangan itu masuk ke kabin pesawat.
Selintas hal ini sepele, tetapi sebenarnya bisa menjadi contoh bisnis yang mengasyikkan. Produsen produk-produk tersebut jarang beriklan. Malah, hampir tidak pernah beriklan di media cetak.
Para produsen itu mengandalkan metode dari mulut ke mulut. Dari satu cerita ke cerita lainnya. Namun, efektivitasnya dahsyat. Warga dari provinsi dan negara mana saja mau membeli.
Di sejumlah kota dunia banyak produk Indonesia mudah ditemukan di toko serba ada. Di antaranya adalah minyak gosok cap Tawon, aneka jenis biskuit, kacang-kacangan, permen, polo shirt, dan kaus oblong.
Kunci kesuksesan menerobos pasar dunia ini adalah mutu yang terjaga dan kemampuan produsen memuaskan semua pembelinya.
Namun, banyak juga produsen yang usahanya hampir seratus tahun, tetapi akhirnya terempas. Sebagian lagi letih bersaing. Misalnya, membuka warung bakso malang yang rasanya enak dan sangat laris.
Pedagang lain juga ramai-ramai membuka warung bakso malang. Akhirnya, semua lalu mengumumkan bahwa merekalah penemu resep bakso malang, Pembeli lalu bingung mana sebetulnya yang asli.
Atau soto yang mengandalkan label Pak Kumis. Banyak yang mengaku Pak Kumis, tetapi mana soto Pak Kumis yang asli? Mana yang latah? Atau pedagang ayam goreng yang terpecah. Akhirnya reputasinya meredup.
Dalam konteks dunia usaha modern, banyak usahawan sukses karena pandai membaca selera konsumen. Seperti betapa larisnya gerai yang menjual kaus, kemeja, topi, sweater, dan pernak-pernik Hard Rock Café.
Praktis, bintang iklan yang paling efektif ialah konsumen yang puas dengan produk atau pelayanan yang diperoleh. Dan, konsumen yang merekomendasikan produk atau pelayanan ini kepada orang lain. Atau, lihatlah Dave Thomas dari fastfood Wendy’s. Iklannya tanpa bintang-bintang masyhur, tetapi langsung menyentuh hati konsumen. Laris manis.
Sumber : http://bisniskeuangan.kompas.com/
Sejumlah produk Hongkong ini sebenarnya tersedia di pelbagai kota di Indonesia. Namun, tetap saja Huang membawa buah tangan itu karena sahabat-sahabatnya menyukainya.
Hal yang lebih kurang sama terjadi di Indonesia. Pulang dari Yogyakarta, yang dibawa umumnya gudeg, bakpia patok, atau masakan dari beberapa restoran tua terkenal. Kembali dari Solo, banyak yang ”nekat” bawa timlo, soto gading, intip, kain batik, dan sebagainya.
Dari Makassar, yang dibawa kepiting dari restoran-restoran tua terkenal, bubur ayam Ang Ping Lao, coto makassar, sop konro, atau minyak gosok cap Tawon.
Dari Balikpapan, yang dibawa selalu kepiting jumbo. Dari Semarang, yang dibawa lumpia (basah dan goreng), soto bangkong, bandeng presto, dan sebagainya.
Menariknya, para pemburu produk atau makanan spesifik ini rela antre saat panas matahari, bersedia menenteng buah tangan itu masuk ke kabin pesawat.
Selintas hal ini sepele, tetapi sebenarnya bisa menjadi contoh bisnis yang mengasyikkan. Produsen produk-produk tersebut jarang beriklan. Malah, hampir tidak pernah beriklan di media cetak.
Para produsen itu mengandalkan metode dari mulut ke mulut. Dari satu cerita ke cerita lainnya. Namun, efektivitasnya dahsyat. Warga dari provinsi dan negara mana saja mau membeli.
Di sejumlah kota dunia banyak produk Indonesia mudah ditemukan di toko serba ada. Di antaranya adalah minyak gosok cap Tawon, aneka jenis biskuit, kacang-kacangan, permen, polo shirt, dan kaus oblong.
Kunci kesuksesan menerobos pasar dunia ini adalah mutu yang terjaga dan kemampuan produsen memuaskan semua pembelinya.
Namun, banyak juga produsen yang usahanya hampir seratus tahun, tetapi akhirnya terempas. Sebagian lagi letih bersaing. Misalnya, membuka warung bakso malang yang rasanya enak dan sangat laris.
Pedagang lain juga ramai-ramai membuka warung bakso malang. Akhirnya, semua lalu mengumumkan bahwa merekalah penemu resep bakso malang, Pembeli lalu bingung mana sebetulnya yang asli.
Atau soto yang mengandalkan label Pak Kumis. Banyak yang mengaku Pak Kumis, tetapi mana soto Pak Kumis yang asli? Mana yang latah? Atau pedagang ayam goreng yang terpecah. Akhirnya reputasinya meredup.
Dalam konteks dunia usaha modern, banyak usahawan sukses karena pandai membaca selera konsumen. Seperti betapa larisnya gerai yang menjual kaus, kemeja, topi, sweater, dan pernak-pernik Hard Rock Café.
Praktis, bintang iklan yang paling efektif ialah konsumen yang puas dengan produk atau pelayanan yang diperoleh. Dan, konsumen yang merekomendasikan produk atau pelayanan ini kepada orang lain. Atau, lihatlah Dave Thomas dari fastfood Wendy’s. Iklannya tanpa bintang-bintang masyhur, tetapi langsung menyentuh hati konsumen. Laris manis.
Sumber : http://bisniskeuangan.kompas.com/
0 komentar:
Posting Komentar