Tampilkan postingan dengan label Analisa Pasar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Analisa Pasar. Tampilkan semua postingan

13 Des 2012

Es Teler 77, Sukses Bermula di Emper Mall


SIAPA sangka hanya bermodalkan Rp 1 juta, bisa menjual es teler hingga Singapura? Tentunya tak seketika juga. Bisnis keluarga ini bermula ketika Murniati Widjaja, generasi pertama perintis bisnis, memenangkan juara kompetisi memasak dengan membuat minuman tradisional Indonesia itu.

Saat itu pada 1982. Murniati dengan dukungan suaminya membuka restoran khusus es teler yang diberinya nama Es Teler 77. Dua angka di belakang bukan tanpa makna. Bagi keluarga Widjaja, 77 merupakan nomor keberuntungan.

Modal Rp 1 juta dipakainya untuk mendirikan tenda kecil di emper pusat perbelanjaan Duta Merlin, Harmoni, Jakarta Pusat. Terkadang, dagangannya terpaksa tutup ketika hujan mendera dan genangan mulai meninggi. "Saat itu karyawan kami tak lebih dari lima orang," kata Wakil Presiden Direktur PT Top Food Indonesia, pemegang master franchise Es Teler 77, Anton Widjaja, di Jakarta.

Pada 1987, franchise pertama dibuka di Solo Jawa Tengah. Namun saat ini, Es Teler 77 telah mencapai 180 cabang dan mempekerjakan dua ribu orang, hampir di seluruh provinsi ada.

Potensi pasar setiap daerah disebutnya berbeda-beda. Sudah ada pergeseran tren tingkat kehidupan masyarakat daerah menjadi lebih konsumtif karena banyaknya pusat perbelanjaan yang dibuka.

Es Teler 77 menetapkan standar yang sama untuk semua outletnya. Sehingga bagi daerah yang tidak mempunyai sentral kitchen, bahan baku harus didatangkan dari Jakarta. Sedangkan sentral kitchen hanya ada di Jakarta dan Medan, serta satu di Singapura. "Hambatan terbesar ada dalam penyediaan bahan baku," katanya.

Jadi daerah yang jauh dari sentral kitchen akan ada penambahan biaya distribusi. Anton mengaku penambahan biaya distribusi tidak dibebankan pada harga jual produknya.

"Tidak ada kenaikan harga secara otomatis, tapi kami menerapkan tiga level biaya dari yang rendah hingga yang tertinggi. Untuk daerah yang biaya distribusinya tinggi diterapkan level harga tertinggi," ujarnya.

Tak hanya di dalam negeri, Es Teler 77 telah go international ke Singapura dan Australia, masing-masing tiga outlet. "Kami sedang bersiap merambah Beijing dan Jeddah dengan mengikuti pameran di sana pada Mei ini," kata Anton yang merupakan generasi kedua dari bisnis ini.

Merambah luar negeri, Anton menyatakan, telah mendaftarkan hak cipta merek dagangnya. "Penting untuk mengamankan terlebih dulu hak cipta untuk menghindari copy cat dan penyalahgunaan merek," ujarnya.

Keinginan untuk go international Anton mengakui tidak berorientasi pada keuntungan. Tidak bisa dianggap profit centre, untuk survei ke luar negeri saja membutuhkan biaya yang banyak.

Menginjakkan kaki ke Singapura dan Australia hanya untuk membangun merek. "Semacam visi tersendiri bahwa usaha kami bisa merambah global," kata Anton.

Lagipula dengan menjual cita rasa khas Indonesia warga negara Indonesia yang hampir tersebar di seluruh dunia menjadi sumber pelanggan utama. Ditambah dengan komunitas yang dibangun dengan masyarakat lokal, di sana akan mengembangkan pasar.

Selain itu, alasan memilih negara seperti Jeddah dan Beijing juga karena karakter selera yang tidak jauh berbeda. Kalau di Jeddah karena banyak yang umroh dan bekerja di sana, maka menjadi pasar yang cukup besar, permintaan di dua negara itu juga banyak.

Sedangkan Beijing, akan menjadi pasar yang menjanjikan mengingat karakter masakan di kawasan Asia akan mengglobal. "Lihat saja di mall-mall Indonesia, tidak hanya masakan Indonesia tapi juga ada masakan China, Thailand, atau Vietnam," ujarnya.

Hingga saat ini, Es Teler 77 telah membuka dua resto cepat saji, yakni di Jalan Aditiawarman dan Pantai Indah Kapuk. Menu andalan tetap pada es teler, bakso, dan mie ayam. "Itu menu-menu pertama kami," katanya.

Seiring berjalannya waktu, menu-menu baru hasil kreasi sendiri mulai bermunculan, seperti siomay, pisang bakar, roti bakar, nasi goreng, ayam goreng, dan sop buntut.

Bagi pemula waralaba, Anton membagi sedikit resep. Sebenarnya tidak terlalu sulit menjalankan bisnis, yang penting harus sadar bahwa konsep bisnis yang jelas merupakan faktor utama untuk dijual, dan kemudian harus fokus pada brand. Untuk fokus di brand yang sudah dibangun, perlu adanya standarisasi dalam produk.

Usahawan juga harus mau mulai dari bawah dan bertahap untuk mendapatkan kesuksesan. "Yang lain, dipertajam dengan pelatihan-pelatihan," ujarnya.

Anton sengaja membidik segmen menengah ke bawah untuk usahanya. Agar usahanya tidak terlalu suka buka di mall yang mahal biaya sewanya. Balik modal rata-rata terjadi dalam dua tahun. Berbeda-beda tergantung lokasinya. Kadang di daerah malah bisa setahun balik modal, karena di sana investasi murah dan belum banyak saingan. (Hadi Suprapto, Elly Setyo Rini, 19 Mei 2009).

Sumber :
http://bisnis.vivanews.com/news/read/58943-es_teler_77__sukses_bermula_di_emper_mall
19 Mei 2009

Sumber Gambar :
http://id.media2.88db.com/DB88UploadFiles/2008/02/21/5D43E8BE-B12F-42E8-A02D-3CF2E009E5DD.jpg

Quo Vadis Kewirausahaan di Indonesia?


We are in the midst of a silent revolution -a triumph of the creative and entrepreneurial spirit of humankind throughout the world. I believe its impact on the 21st century will equal or exceed that of the Industrial Revolution in the 19th and 20th (Jeffry A. Timmons, The Entrepreneurial Mind)

Pada tahun 2006, data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan di Indonesia terdapat 48,9 juta usaha kecil dan menengah (UKM), menyerap 80% tenaga kerja serta menyumbang 62% dari PDB (di luar migas). Data tersebut sekilas memberikan gambaran betapa besarnya aktivitas kewirausahaan di Indonesia dan dampaknya bagi kemajuan ekonomi bangsa.

Terlebih lagi ditambahkan dengan data hasil penelitian dari Global Entrepreneurship Monitor (GEM) yang menunjukkan bahwa pada tahun yang sama, di Indonesia terdapat 19,3 % penduduk berusia 18-64 tahun yang terlibat dalam pengembangkan bisnis baru (usia bisnis kurang dari 42 bulan). Ini merupakan yang tertinggi kedua di Asia setelah Philipina (20,4%) dan di atas China (16,2) serta Singapura (4,9%).

Namun di sisi lain, data BPS pada tahun yang sama juga menunjukkan masih terdapat 11 juta penduduk Indonesia yang masih menganggur dari 106 juta angkatan kerja, serta 37 juta penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Fakta-fakta tersebut seakan-akan menunjukkan kewirausahaan di Indonesia tidak dapat memberikan sumbangan yang positif bagi kesejahteraan bangsa.

Padahal seorang pakar kewirausahaan, David McClelland mengatakan bahwa jika 2% saja penduduk sebuah negara terlibat aktif dalam kewirausahaan, maka dapat dipastikan bahwa negara tersebut akan sejahtera. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Profesor Edward Lazear dari Stanford University yang mengatakan bahwa wirausahawan adalah pelaku paling penting dari kegiatan ekonomi modern saat ini.

Apakah ada yang keliru dari data-data tersebut? Ataukah data-data tersebut tidak mencerminkan kondisi kegiatan kewirausahaan yang sesungguhnya? Atau semua hal tersebut memang gambaran yang sesungguhnya dan kita perlu melakukan pembenahan yang lebih serius pada dunia kewirausahaan di Indonesia.


Profil Kewirausahaan di Indonesia

Kegiatan kewirausahaan di Indonesia berkembang paling pesat saat krisis moneter melanda pada tahun 1997. Dari hanya 7000 usaha kecil di tahun 1980 melesat menjadi 40 juta pada tahun 2001. Artinya banyak usaha kecil yang muncul di saat krisis tersebut dikarenakan kebutuhan (necessity) dan kurang didorong oleh faktor inovasi.
Jika data BPS tahun 2006 ditelaah lebih lanjut, 48,8 juta usaha kecil di Indonesia tahun 2006 menyerap 80,9 juta angkatan kerja. Berarti setiap usaha tersebut hanya menyediakan lapangan kerja untuk dirinya sendiri ditambah 1 orang lain. Sementara itu pada saat yang sama, 106 ribu usaha menengah menyerap 4,5 juta tenaga kerja yang berarti 1 kegiatan usaha menengah menyerap 42,5 tenaga kerja.

Ada kesenjangan yang sangat besar antara jumlah skala usaha kecil dibandingkan usaha menengah serta perbedaan yang sangat signifikan dalam kemampuannya menyerap tenaga kerja.

Selain itu, usaha kecil di Indonesia didominasi oleh kegiatan yang bergerak pada sektor pertanian, kehutanan, peternakan, perikanan (53,5%), sementara usaha menengah banyak bergerak di sektor perdagangan, hotel dan restoran (53,7%) dan usaha besar di industri pengolahan (35,4%).

Hal tersebut menunjukkan bahwa dunia kewirausahaan di Indonesia memang tertinggal dibandingkan negara lain yang sudah memasuki abad informasi dan pengetahuan. Dunia kewirausahaan Indonesia masih banyak yang mengandalkan otot dibandingkan otak. Kerja keras dibandingkan kerja cerdas.


Apa yang harus dilakukan?

Dengan melihat profil kewirausahaan di Indonesia tersebut, maka ada tiga hal yang perlu dilakukan.

Pertama, pengembangan jiwa dan karakter wirausaha sejati. Perlu lebih banyak wirausahawan di Indonesia yang dilahirkan dengan didorong oleh visi dan inovasi dan bukan semata-mata karena keterpaksaan dan hanya menjadikan kegiatan usaha sebagai tempat singgah sementara (sampai mendapatkan pekerjaan).

Hal ini menjadi tugas dari dunia pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, karakter dan ketrampilan kreatif serta sikap mandiri dan pro-aktif harus mewarnai semua kegiatan pembelajaran.

Kedua, pengembangan ketrampilan membesarkan usaha. Kegiatan usaha kecil yang sudah ada harus dibina dan dikembangkan. Jika 50% saja kegiatan usaha kecil di Indonesia berkembang dan membutuhkan tambahan 1 orang tenaga kerja, maka akan tersedia 24,4 juta lapangan kerja baru. Di saat seperti itu, mungkin kita harus mulai mengimpor tenaga kerja asing.

Hal ini dapat diupayakan dengan mengembangkan kerja sama antara pemerintah, dunia usaha dan dunia pendidikan. Ketrampilan mengembangkan usaha tersebut meliputi ketrampilan berinovasi dan manajerial yang bersifat strategis. Oleh karena itu UKM tidak dibesarkan dengan semata-mata suntikan hormon (dana).

Ketiga, arah dan pengembangan keunggulan bersaing bangsa. Negara China bekerja keras mengembangkan infrastruktur fisik untuk meningkatkan daya saing barang-barang hasil produksinya. Negara India meningkatkan infrastruktur dan brainware teknologi informasi untuk dapat bersaing di dunia IT. Apa yang harus dilakukan Indonesia?
Sudah merupakan hal yang nyata, bahwa interaksi dan hubungan antarnegara saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Prilaku negara sudah menjadi seperti prilaku perusahaan besar yang bersaing satu sama lain. Oleh karena itu agar dapat menjadi bangsa yang unggul dan diperhitungkan, maka Indonesia harus segera menemukan dan mengembangkan keunggulan intinya.

Setelah itu pemerintah harus mengarahkan dunia kewirausahaan untuk bergerak dan menunjang keunggulan bersaing bangsa tersebut. Dengan demikian, maka kita kelak akan melihat negara Indonesia menjadi semacam perusahaan raksasa yang menaungi puluhan juta wirausahawan sejati.

Sumber :
Margiman, Executive Director Ciputra Entrepreneurship
http://www.ciputra.org/node/95/quo-vadis-kewirausahaan-di-indonesia.htm
Sumber Gambar:
http://www.authenticchangecoach.com/wp-content/uploads/2009/08/Inspired-Entrepreneurship.jpg

Jenis-Jenis Wirausaha


     Wirausaha merupakan salah satu bentuk karier yang dilakukan dengan cara menciptakan peluang usaha sendiri, bisa juga dilakukan oleh kaum muda. Jenis wirausahawan sangatlah banyak tidak hanya beberapa tapi ratusan peluang usaha bias kita ciptakan, hanya saja bagaimana kita dapat memanfaatkan jenis wirausaha tersebut agar dapat menjadi suatu usaha yang berkembang dan maju.
Wirausaha dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu founders, general managersdan franchisee.
·         Founders  
yaitu seorang Founders sering dianggap sebagai wirausaha murni, karena mereka secara nyata melakukan survei pasar, mencari dana, dan fasilitas yang diperlukan. Founders yaitu seorang investor yang memulai bisnis berdasarkan penemuan barang atau jasa baru atau yang sudah diimprovisasi. Atau dapat juga seseorang yang mengembangkan ide orang lain dalam memulai usahanya.
·         General Manager
 yaitu seseorang yang mengepalai operasional perusahaan dalam menjalankan bisnisnya.
·         Franchisee
yaitu seorang wirausaha yang kekuasaannya dibatasi oleh hubungan kontrak kerja dengan organisasi pemberi franchise atau franchisor. Tingkatan dalam sistem franchise terdiri atas tiga bentuk. Pertama produsen (franchisor) memberikan franchise kepada penjual. Sistem ini umumnya digunakan di dalam industri minuman dingin. Tipe kedua penjualnya adalah franchisor, contohnya pada supermarket. Tipe ketiga, franchisor sebagai pencipta atau produsen, sedangkan franchise adalah pendiri retail seperti restoran cepat saji.
Ada dua pola wirausaha yang disarankan oleh Norman R.Smith dalam Longenecker (2001), yaitu wirausaha artisan dan oportunistis. Wirausaha Artisan adalah seseorang yang memulai bisnisnya dengan keahlian teknis sebagai modal utama dan sedikit pengetahuan bisnis. Karakteristik dari seorang wirausaha artisan antara lain:
  • Bersikap kekeluargaan, mereka memimpin bisnisnya seperti memimpin keluarganya
  • Enggan mendelegasikan wewenang
  • Menggunakan sedikit (satu atau dua) sumber modal dalam mendirikan perusahaannya
  • Membatasi strategi pemasaran pada komponen harga secara tradisional, kualitas dan reputasi perusahaan
  • Usaha penjualannya dilakukan secara tradisional
  • Orientasi waktu mereka singkat dengan sedikit perencanaan untuk pertumbuhan atau perubahan di masa mendatang
     Sedangkan Wirausaha Oportunistis yaitu seseorang yang memulai suatu bisnisnya dengan keahlian manajemen yang rumit dan pengetahuan teknis.
     Bagaimana caranya memulai suatu usaha? Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan seseorang bila ingin memulai sebuah bisnisnya sendiri, yaitu: fokus pada apa yang akan dilakukan, melakukan business plan, menciptakan image yang jelas atas produk yang dihasilkan, melakukan survei atas kebutuhan dan permintaan pasar, melindungi hak cipta, berpikir positif tentang bisnisnya, berpikir terbuka atas ide-ide baru, menciptakan strategi pemasaran yang tepat, menentukan harga yang tepat, merencanakan masa depan perusahaan dengan jelas.
Sumber  :  http://www.ut.ac.id/html/suplemen/ekma4111/jenis_jenis_wirausaha.htm

12 Des 2012

Mengawali Bisnis dengan Sesuatu yang Ada di Sekitar Kita

Beberapa orang mengawali bisnisnya dari sekedar hobi. Lama kelamaan menjadi sumber penghasilan. Hobi berkreasi membuat kue, Rosidah Widya Utami, kini sukses mengembangkan bisnis pembuatan donat dengan brand Donat Kampung Utami (DKU). Omzetnya dalam sebulan mencapai ratusan juta. Usaha ini, diawali dari bisnis skala kecil-kecilan di Jombang, Jawa Timur. Utami pertama kali merintis bisnis tahun 2001. Sebagai jajanan kampung, saat itu donatnya dijual dengan harga Rp 500 per buah.

Ia memulai dengan peralatan rumah tangga seadanya dan menitipkan donatnya ke sekolah-sekolah. Berkat kegigihannya membesarkan usaha, kini donat Utami sudah dikenal di berbagai wilayah Indonesia. Bahkan, donatnya sudah kesohor hingga ke luar negeri. Tentu bukan lagi jajanan kampung, donat buatan Utami kini masuk kategori premium. Rasanya tak kalah dengan donat kelas mal dengan harga lebih terjangkau, Rp 4000 per buah. (www.peluangusaha.kontan.co.id, 04/09/12).

Berawal dari hobi menjahit serta membuat sendiri pakaian untuk anak-anaknya, Fina, pemilik usaha kerajinan kain berupa pernak-pernik rumah dengan merek De Fafas berhasil mengembangkan usaha kecil-kecilannya menjadi bisnis dengan 11 orang karyawan serta keuntungan hingga 80 juta rupiah per bulan (www.usahakecilmodalkecil.com, 21/06/12).

Selain dari hobi, ada juga yang memulai bisnis dengan memilih suatu bidang bisnis karena diawali desakan kebutuhan. Salah satu pembuat susu instan dari kambing PE adalah kelompok wanita tani  “Anjani” Desa Tlogoguwo Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo. Ketua kelompok wanita tani “Anjani”, B Suwarti (41), mengisahkan bahwa memelihara kambing PE sudah bagian dari kehidupan masyarakat Desa Tlogoguwo sejak puluhan tahun silam secara turun temurun dari nenek moyangnya.

Memelihara kambing PE awalnya hanya untuk diambil anaknya sebagai bibit untuk dijual. Disamping itu untuk dimanfaatkan kotorannya sebagai pupuk organik. Dengan semakin tingginya permintaan kambing PE dan pupuk organik, masyarakat setempat yang memlihara kambing PE bisa mencukupi kebutuhan keluarganya.

Seiring perkembangan teknologi yang diimbangi peningkatan kebutuhan hidup masyarakat, munculah ide baru untuk memanfatkan susunya sebagai konsumsi manusia. Dikisahkan, saat itu sekitar tahun 1986 keluarganya didera masalah keuangan rumah tangga. Untuk mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari sangat sulit, apalagi membeli susu untuk kedua anaknya. Padahal saat itu kedua anaknya masih balita, yang mebutuhkan susu untuk pertumbuhan.

Berawal hanya untuk mencukupi kebutuhan keluarga sendiri, kemudian berkembang pemikiran apa salahnya bila diproduksi untuk orang lain, sekaligus sebagai lahan bisnis menambah pengasilan keluarga. Akhirnya sekitar tahun 2006, diproduksi dengan skala lebih besar (www.purworejokab.go.id, 05/03/12).

Dan beberapa kisah sukses wirausaha lain berangkat dari latar belakang yang berbeda-beda. Hobi yang ditekuni bisa mengantarkan seseorang meraih kematangan usaha. Desakan kebutuhan sehari-hari bisa menjadi pendorong seseorang memanfaatkan hal-hal yang ada di sekitarnya, kemudian menjadi barang yang bernilai jual.

Membuka usaha sendiri atau menjadi pekerja adalah sebuah pilihan. Ketika telah memilih untuk berwirausaha, cobalah untuk melihat peluang di sekitar kita. Pergunakan sesuatu yang ada di sekitar kita, tidak terbatas pada modal berupa materi. 

Akan terasa sangat sulit jika mencoba menganalisa kebutuhan pasar dengan berbekal teori semata. Memang betul, bisnis itu, ilmu yang dikombinasi dengan seni, tidak saklek, tapi fleksibel. Yang baku hanya prinsipnya, bagi seorang Muslim, wajib menundukkan segalanya kepada hukum Islam. 
source: (www.purworejokab.go.id,).

Receive all updates via Facebook. Just Click the Like Button Below

Powered By Blogger Widgets